Manusia Jalanan Jilid II

Bandung, 2 Oktober 2013

Apa yang menjadi definisi manusia jalanan menurutku? Dan mengapa jilid 2 padahal belum ada jilid 1?

Sumber gambar: http://komunitasjendela.org/atap-langit-rumahku.html

Aku adalah seorang perantau (terdengar keren, tapi memang begitu adanya). Aku kini kuliah di Bandung. Sementara asalku dari Boyolali, sebuah kota yang tenang di kaki Merapi-Merbabu. Maka bolehlah gelar perantau menempel di diriku.

Sebagai seorang perantau tentu aku sering melakukan perjalanan jauh. Paling tidak setahun empat kali aku pulang pergi Bandung Boyolali. Maka perjalanan malam menembus jalanan naik bus sudah akrab untukku. Jikalau tidak, aku juga sudah terbiasa bermandi asap batu bara dari cerobong kereta yang membawaku.

Manusia jalanan adalah kisah yang kutemui saat melakukan perjalanan-perjalanan ini. Sebenarnya bukan tentang akunya, tapi tentang mereka yang aku temui dan amati selama perjalanan itu. Kali ini, kisahnya tentang seorang kernet bis malam yang langgananku.

Mengapa menurutku nama “manusia jalanan” begitu pantas untuk digelarkan pada mereka? Ya, salah satunya tentu karena sebagian besar hidup mereka habis dalam perjalanan. Bagaimana tidak, supir dan kru bus Bandung-Solo seperti yang kutumpangi menghabiskan waktunya setiap hari 12 jam mengendarai kekasihnya, si kendaraan penakhluk jarak ratusan kilometer. Dua belas jam menginjak tanah, lalu mereka harus kembali lagi 12 jam berkendara ke kota awal di malam selanjutnya.

Alasan kedua, menurutku kehidupan mereka keras. Tentu mereka pernah berinteraksi dengan preman-preman di berbagai terminal yang mereka singgahi. Pula mereka akrab dengan yang namanya pungutan liar. Pengamen, pengasong, dan copet juga bumbu pelengkap kehidupnya sehari-hari. Pantaslah kalau kubilang hidup mereka keras.

Alasan ketiga, rasanya hidup mereka jauh dari ilmu dan agama (walau tidak semua). Dari senja mereka bergadang hingga pagi. Rasanya saat mereka mendarat, tidur adalah pilihan hidupnya. Rasanya mereka tidak akan punya waktu untuk mendapatkan curahan ilmu baik duniawi maupun tentang akhirat. Ya.. pantas saja jika sebagaian dari mereka hanya KTP-nya saja yang islam, sehingga tidak pernah sholat.

Alasan ke empat dan yang paling menyesakkan, adalah terbatasnya waktu mereka dengan keluarga. Jika dipikir-pikir mereka hanya bertemu dengan keluarganya dua hari sekali. Saat bertemunya pun paling hanya setengah hari. Itupun sebagian mereka isi untuk tidur. Malang nian nasib mereka.

– –

Untuk masalah jilid II, karena ini adalah pelajaran kedua yang kupetik dari mereka. Pelajaran pertama kudapat ketika aku masih merantau di Jakarta. Hanya saja sampai saat ini kisah itu belum sempat kutuliskan. Semoga lain waktu ada kesempatan.

– –

Kembali ke jilid 2, kisah kali ini kualami dalam perjalanan pulang ke Boyolali sekitar bulan Januari tahun ini (2013). Seperti biasa aku naik bus ini dari kandangnya. Lumayan, harga tiketnya lebih murah Rp5.000,00 dari pada jika berangkat dari terminal. Seperti sebelum-sebelumnya, bus belumlah penuh saat berangkat dari pul. Biasanya sebagian penumpang naik dari Terminal Cicaheum. Sisanya baru akan naik dari agen-agen bus di daerah Bandung Timur atau Sumedang.

Saat berada di daerah Cibiru tiba-tiba bus menepi. Kemudian kulihat didepan ada kantor agen bus ini. Bentuk kantornya cukup sederhana. Di depan kantor ini, di tepi jalan, telah berdiri dua orang wanita dewasa dan satu anak kecil perempuan.

Seperti biasa si kernet membuka pintu depan. Kutebak selanjutnya dia akan membuka pintu bagasi. Lalu dia akan masuk ke dalam menemui petugas agensi untuk mengurus penumpang yang naik dari sana. Begitulah ritual yang biasa dia lakukan ketika mampir di suatu agen.

Namun yang terjadi saat itu berbeda, aku tertegun memandang dari tepi jendela. Usai pintu depan bus terbuka, saat ia menjejakkan kakinya ke tanah, si anak kecil yang tadi berdiri di tepi jalan segera menyongsongnya sambil teriak “ayaaah..!”. Kemudian segera memeluknya.

Sembari berjalan tertatih karena dipeluk anaknya, sang ayah berjalan ke arah dua wanita yang berdiri di depannya. Mereka berbicara sesaat. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak mampu mendengarnya dari balik kaca. Sesaat kemudian si kernet melantunkan sebuah amplop kecil kepada sang wanita yang berdiri di depan. Wanita ini berwajah lebih muda, mungkin yang dibelakang adalah kakaknya. Dan dia sendiri mungkin istri si kernet itu.

Sesaat kemudian sang kernet membalikkan badan dan segera berjalan menuju pintu bus. Sang anak hendak berlali mengejar, namun langkahnya tertahan oleh genggaman sang ibu. Kemudian ia hanya berteriak “Ayaahh… Ayaah..” dengan suaranya yang memelas dan merajuk.

Penumpang yang naik dari agen itu telah masuk ke dalam bus. Si kernet segera menutup pintu. Tepat saat bus mulai berjalan, ia memandang sekali lagi keluarganya yang masih berdiri di tepi jalan. Sedikit gesture melambaikan tangan ia tunjukkan.

Aku sendiri kemudian memilih menengok ke arah keluarga yang ditinggalkan itu. Sang kakak telah berbalik badan dan berjalan pergi. Sementara si anak dan sang ibu masih berdiri tertegun. Pemandangan itu terus kulihat hingga bus akhirnya beranjak menjauh.

Selama beberapa saat aku masih terus memikirkan kejadian itu. Tentang kasih sayang. Tentang anak yang merindukan ayahnya. Tentang ayah yang harus mencari nafkah untuk keluarganya. Tentang ibu yang harus tegar lantaran sering ditinggal suaminya. Indah, namun juga mengharukan.

– –
Sebuah kisah dari All Chussna
oleh san

Tinggalkan komentar